Powered By Blogger

Total Tayangan Laman

Selasa, September 23, 2008

Skenario Film

A. Skenario Film Cerita
Membuat film adalah suatu kerja kolaboratif. Sebuah film dihasilkan oleh kerjasama berbagai macam variabel yang saling mendukung. Di antara berbagai variabel itu adalah skenario, yang dianggap sebagai suatu variabel penting, karena secara prosedural merupakan bagian dari tahap awal pembuatan sebuah film. Langkah pertama seorang produser dalam membuat film adalah mencari cerita yang layak. Menurut Winston (1973:199), pembuatan film adalah proses kreatif berkesinambungan yang bisa dibagi dalam tiga tahap: penulisan skenario, penyutradaraan dan penyuntingan.
Skenario dianggap penting dalam pembuatan film, karena keberadaannya merupakan rancangan untuk membuat film. Sebuah skenario yang baik telah menjadi sebuah film dalam bentuk tertulis. Dalam sebuah skenario yang sempurna, visualisasi dari gagasan sebuah film sudah tergambar dengan jelas. Secara rinci, dalam sebuah skenario tertulis elemen-elemen sebuah film seperti dramaturgi, konsep visual, montase, karakterisasi, pengadeganan, dialog, dan tata suara (Herman, 1952). Sebuah film dibuat berdasarkan skenario tersebut.
Hal ini membuktikan betapa pentingnya skenario. Berdasarkan sebuah skenario yang buruk, sebuah film yang baik tidak mungkin dihasilkan. Berdasarkan skenario yang baik, kemungkinan untuk menghasilkan film yang baik lebih besar.
Sebuah film, sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah suatu cara untuk berkomunikasi—ada sesuatu yang ingin disampaikan pada penonton. Menurut Stephenson (1976:20), salah satu aspek kesenian adalah komunikasi, dan hanya punya arti bila disana terdapat setidaknya dua orang yang mempunyai perhatian terhadapnya. Sang seniman bahkan kadangkala berlaku sebagai penonton bagi karyanya sendiri.
Dalah hal film, cara berkomunikasinya adalah cara bertutur—ada tema, tokoh, cerita, secara audiovisual, yang pada akhirnya mengkomunikasikan suatu pesan eksplisit maupun implisit—secara dramatik. Menurut Bordwell, cara bertutur ini adalah menghadirkan kembali kenyataan, dengan makna yang lebih luas (1985:xi). Film yang paling tidak komunikatif pun ingin menyampaikan sesuatu. Makin komunikatif sebuah film, makin mulus penyampaian gagasan yang dikandungnya pada penonton.
Cara bertutur adalah bagian dari teknik berkomunikasi, yakni bagaimana sebuah film menancapkan pesan ke benak penonton, dengan cara yang mengesankan (Jowett, 1980:87-101). Pengertian mengesankan dalam hal ini: penonton memahami sebuah pesan bukan karena pemberitahuan mentah-mentah, melainkan berdasarkan pengalaman yang didapatnya dari sebuah film. Dengan begitu, sebuah film dianggap berhasil berkomunikasi secara baik jika berhasil menyampaikan pesan secara mengesankan. Kemampuan untuk menuntun penonton kepada identifikasi dengan tokoh adalah bagian terbesar dari ketrampilan seorang penulis skenario (Jowett, 1980:92).
Herman (1952:3) menyatakan:
Skenario film adalah komposisi tertulis yang dirancang sebagai semacam diagram kerja bagi sutradara film. Skenario ini yang menjadi dasar pemotretan sekuen-sekuen gambar. Ketika disambung-sambung, sekuen-sekuen ini akan menjadi sebuah film yang selesai, setelah efek suara dan latar musik yang cocok dibubuhkan.
Lebih lanjut Herman mengatakan bahwa tidak seperti naskah drama atau novel, skenario film jarang menjadi karya sastra. Seperti blue print dalam arsitektur, hanya berfungsi sebagai penghubung kemana gambar-hidup itu mesti melewatinya, sebelum tampil dalam struktur sebuah film yang utuh. Skenario lebih ditekankan sebagai suatu fungsi, yakni sebagai rancangan untuk membuat film. Namun demikian, skenario film masih memiliki ruang untuk menjadi karya tekstual. Dengan kata lain, skenario bisa tidak menjadi penghubung, melainkan menjadi karya tekstual yang mandiri. Dalam hal ini, skenario film bukan hanya sebuah fungsi, melainkan juga substansi.
John Gassner (via Winston, 1973:13) mengatakan bahwa skenario film bukan hanya bisa disadari sebagai bentuk sastra yang baru, namun sebagai bentuk sangat penting yang mempunyai otonominya sendiri.

B. Empat Jenis Skenario Film Cerita
Berdasarkan kutub-kutub ekstrim dalam pemilihan model bertutur, skenario film cerita dapat dikategorikan kedalam empat jenis, yakni:
1. Struktur Tiga Babak
2. Mozaik
3. Garis Lurus / Linear
4. Eliptis

Struktur Tiga Babak
Jenis skenario ini berkembang dengan baik di Hollywood. Mementingkan keterikatan penonton pada jalan cerita, tanpa membebaninya. Merupakan cara bertutur yang dianggap klasik, dimana cerita bergerak menuju klimaks lewat struktur tiga babak.
Film yang menggunakan skenario jenis ini—jika diibaratkan—cerita di dalamnya mengalir seperti sungai. Perahu yang dinaiki Sang Protagonis bergerak mengarungi liku-liku sungai menuju ke sebuah air terjun!

Mozaik
Dalam skenario dengan desain mozaik, akan banyak muncul adegan yang tidak secara ketat saling berhubungan. Contoh paling ekstrem adalah tetralogi karya Francois Truffaut :
- The 400 Blows (Les Quatre Cents Coups), 1958
- Love at Twenty (L’Amour a vingt Ans), 1962
- Stolen Kisses (Baisers Voles), 1968
- Bed and Board (Domicile Conjugal), 1970

Truffaut telah menunjukkan, bahwa sebuah film yang tidak disusun dengan jenjang menuju klimaks secara bertahap pun bisa tetap menarik dan romantik. Film-filmnya merupakan mozaik kehidupan sehari-hari, para tokohnya bukan jagoan yang mampu mengatasi segala rintangan, namun justru menarik simpati karena mereka adalah manusia biasa. Penonton mendapat realitas, bukan dongeng.

Garis Lurus / Linear
Contoh terbaik untuk skenario dengan desain linear / garis lurus, adalah film Scenes from a Marriage, karya Ingmar Bergman. Film berdurasi 168 menit ini, sebagian besar isinya adalah percakapan antara sepasang suami-istri, nyaris tanpa adegan yang diusahakan membunuh kebosanan. Penulisan skenarionya tidak diupayakan untuk menggiring reaksi psikologis penonton, seperti adanya suspense, jenjang menuju klimaks, dan penyelesaian yang tuntas.
Bergman seolah menolak sebuah film menjadi manis dan menyenangkan dengan cara apapun. Ia membebaskan penonton untuk membuat tafsiran yang berbeda sama sekali. Ia hanya membeberkannya, tidak lewat pengadeganan yang bisa simbolis, melainkan melulu lewat percakapan. Dalam filmnya tersebut, penonton betul-betul hanya melihat orang bercakap-cakap lama sekali. Alur cerita bergman adalah isi percakapan itu.

Eliptis
Skenario dengan desain eliptis, pertama kali diperkenalkan oleh Akira Kurosawa dalam filmnya yang berjudul Rashomon.
Jika biasanya sebuah cerita mempunyai awal dan akhir, namun dalam Rashomon, awal dan akhir itu hanyalah dalam pengertian fisik, yakni ada halaman terakhir. Secara struktural, cerita dalam film ini tidak maju ke mana-mana. Tepatnya: setiap kali maju ia melingkar -- dan seterusnya.
Film Rashomon ini bercerita tentang penyelidikan terbunuhnya seorang samurai. Tiga orang saksi dihadirkan, namun ketiganya membuat kesaksian yang berbeda. Mereka bisa benar, sekaligus semuanya bisa bohong. Setiap versi yang ditampilkan para saksi bisa dianggap berdiri sendiri-sendiri, yang merupakan pengulangan tanpa kesimpulan siapa yang benar. Dengan begitu cerita Rashomon melingkar ke atas: eliptis.

BIBLIOGRAFI

Field, Syd. 1979. Screenplay: The Foundations of Screenwriting. New York: A Delta Book.
Herman, Lewis. 1952. A Practical Manual of Screen Playwariting for Theater and Television Films. New York: The New American Library.
Jowett, Garth dan James M. Linton. 1980. Movies as Mass Communication. London: Sage Publications.
Monaco, James. 1976. The New Wave: Truffaut, Godard, Chabrol, Rohmer, Rifette. New York: Oxford University Press.
Root, Wells. 1980. Writing the Script. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Stephenson, Ralph dan J.R. Debrix. The Cinema as Art. London: Penguin Books.
Winston, Garrett Winston. 1973. The Screenplay as Literature. London: The Tantivy Press.

Tidak ada komentar: