Powered By Blogger

Total Tayangan Laman

Selasa, September 23, 2008

TELEVISI

Lima komponen utama televisi adalah: ide, artis, peralatan, tim produksi, dan pemirsa. Semuanya penting dan sejajar—tidak satupun mata acara televisi dapat terwujud tanpa lima hal tersebut.

Ide
Semua mata acara diawali dengan ide atau gagasan—meskipun suatu hal yang tampaknya sederhana seperti ‘mari kita masukkan berita itu ke dalam televisi’. Ingat bahwa televisi adalah saluran komunikasi dari benak produser menuju benak penonton. Jika produser tidak memiliki gagasan, lantas apa yang akan diperoleh pemirsa?

Artis
Artis adalah semua orang yang tampil di depan kamera dengan kapasitas tertentu—mulai dari pembaca berita hingga pemeran utama film cerita. Keberadaan mereka sangat penting bagi mata acara dimana mereka berperan. Mereka adalah manusia, dan sudah sewajarnya bila diperlakukan sebagaimana layaknya. Biasanya ada beberapa di antara mereka yang akan merasakan bahwa studio televisi sebagai suatu tempat yang asing dan tidak nyaman untuk bekerja. Sebuah tim produksi yang baik akan mampu mengatasi persoalan ini.

Peralatan
Sesederhana apapun, sebuah studio pasti membutuhkan sebuah kamera atau lebih, yang biasanya dipasang di atas pedestal yang dapat dipindah dan digerakkan; lampu, untuk mendukung terciptanya gambar ideal; microphone, untuk menangkap suara; latar, baik berupa dinding studio, cyclorama, atau sebuah full drama set; communication—alat berkomunikasi dari ruang kontrol dengan kru yang berkerja di lantai studio; serta sebuah monitor di lantai studio, sehingga semua yang terlibat dalam mata acara tersebut dapat melihat gambar yang mereka kerjakan. Ruang kontrol memerlukan peralatan sound mixing, satu vision mixing panel, lighting control, dan camera control.
Masih ada beberapa jenis peralatan lain yang dibutuhkan untuk menghasilkan gambar dan suara yang berkualitas dan berstandar profesional.

Tim Produksi
Tim produksi adalah sekelompok orang yang bekerja sama membuat sebuah mata acara sehingga pada akhirnya dapat ditayangkan.
Meskipun setiap studio televisi memiliki perbedaan dalam detail metode produksi, namun pada dasarnya memiliki proses yang sama dalam menciptakan televisi yang baik dan ekonomis.
Staf dalam tim produksi dibagi dalam empat bidang:
Production
Program Services
Technical Operations
Engineering

Production—tugas bidang produksi adalah menterjemahkan sebuah gagasan ke dalam bentuk skrip kerja atau mata acara. Jumlah kru produksi dalam pembuatan sebuah mata acara sangat bervariasi. Namun sedikitnya berjumlah dua orang (dapat dipastikan seorang kru saja tidak akan dapat mengatasi semuanya). Kru sebuah produksi besar bisa pula berjumlah hingga empat ratus orang. Tugas pokok mereka adalah mengolah ide hingga menjadi sebuah tayangan televisi. Dalam hal pembagian kerja, terdapat berbagai jabatan dalam bidang produksi, antara lain:
Program Controller
Program Director
Station Manager
Executive Producer
Producer
Director
Scriptwriter
Newsreader
Actor
Production Assistant
Research Assistant
Director’s Assistant
Weatherman
Interviewer

Program Services—selain memiliki bidang produksi yang bertugas menyiapkan gagasan serta orang-orang yang menterjemahkan gagasan tersebut, sebuah stasiun televisi—sekecil apapun—harus memiliki sebuah Program Services yang bertugas mem-back up produksi. Bidang kerja Program Services meliputi:
Set Design
Graphic Design
Costume Design
Make-Up
Scenic Construction
Studio Management
Film Services
Special FX
Studio Projection
Properties

Tenaga ahli yang diperlukan Program Services antara lain:
Designers
Artists
Draughtsmen
Seamstresses (Costum Designers)
Hairdressers
Carpenters
Scene-Shifters
Projectionists
Floor Managers
Vision Mixers
Film Cameramen
Film Editors
Film Sound Recordists
Property Buyers
Set Dressers (Set Designers)
Assistant Floor Managers painters

Technical Operations—selain production dan Program Services, yang harus dimiliki sebuah stasiun televisi adalah technical operations. Karena semua pekerjaan di studio harus diwujudkan dalam bentuk gambar dan suara, maka diperlukan lampu dan kamera untuk menghasilkan gambar, serta microphone untuk menghasilkan suara.
Technical Operations bertugas menyeimbangkan cahaya, suara dan gambar di dalam studio. Tenaga ahli yang dibutuhkan di bidang ini meliputi:
Lighting Directors
Technical Managers
Sound Supervisors
Vision Operators
Gram and Tape Operators
Electronic Effects Operators
Cameramen
Boom Operators

Engineering—sebenarnya Technical Operation adalah bagian dari Engineering, namun bidang ini terkait erat dengan pelaksanaan sebuah produksi. Karenanya engineering adalah bidang teknis yang secara tidak langsung bekerja dalam sebuah mata acara.
Videotape
Telecine
Repair and Maintenance
Lines/communication/switching
Transmitters

Pemirsa
Ingat bahwa pemirsalah yang membayar sebuah produksi, baik melalui iklan, pajak, maupun bentuk-bentuk pembayaran lainnya. TANPA PEMIRSA, TIDAK AKAN ADA TITIK PERMULAAN DALAM MEMBUAT MATA ACARA TELEVISI.

Skenario Film

A. Skenario Film Cerita
Membuat film adalah suatu kerja kolaboratif. Sebuah film dihasilkan oleh kerjasama berbagai macam variabel yang saling mendukung. Di antara berbagai variabel itu adalah skenario, yang dianggap sebagai suatu variabel penting, karena secara prosedural merupakan bagian dari tahap awal pembuatan sebuah film. Langkah pertama seorang produser dalam membuat film adalah mencari cerita yang layak. Menurut Winston (1973:199), pembuatan film adalah proses kreatif berkesinambungan yang bisa dibagi dalam tiga tahap: penulisan skenario, penyutradaraan dan penyuntingan.
Skenario dianggap penting dalam pembuatan film, karena keberadaannya merupakan rancangan untuk membuat film. Sebuah skenario yang baik telah menjadi sebuah film dalam bentuk tertulis. Dalam sebuah skenario yang sempurna, visualisasi dari gagasan sebuah film sudah tergambar dengan jelas. Secara rinci, dalam sebuah skenario tertulis elemen-elemen sebuah film seperti dramaturgi, konsep visual, montase, karakterisasi, pengadeganan, dialog, dan tata suara (Herman, 1952). Sebuah film dibuat berdasarkan skenario tersebut.
Hal ini membuktikan betapa pentingnya skenario. Berdasarkan sebuah skenario yang buruk, sebuah film yang baik tidak mungkin dihasilkan. Berdasarkan skenario yang baik, kemungkinan untuk menghasilkan film yang baik lebih besar.
Sebuah film, sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah suatu cara untuk berkomunikasi—ada sesuatu yang ingin disampaikan pada penonton. Menurut Stephenson (1976:20), salah satu aspek kesenian adalah komunikasi, dan hanya punya arti bila disana terdapat setidaknya dua orang yang mempunyai perhatian terhadapnya. Sang seniman bahkan kadangkala berlaku sebagai penonton bagi karyanya sendiri.
Dalah hal film, cara berkomunikasinya adalah cara bertutur—ada tema, tokoh, cerita, secara audiovisual, yang pada akhirnya mengkomunikasikan suatu pesan eksplisit maupun implisit—secara dramatik. Menurut Bordwell, cara bertutur ini adalah menghadirkan kembali kenyataan, dengan makna yang lebih luas (1985:xi). Film yang paling tidak komunikatif pun ingin menyampaikan sesuatu. Makin komunikatif sebuah film, makin mulus penyampaian gagasan yang dikandungnya pada penonton.
Cara bertutur adalah bagian dari teknik berkomunikasi, yakni bagaimana sebuah film menancapkan pesan ke benak penonton, dengan cara yang mengesankan (Jowett, 1980:87-101). Pengertian mengesankan dalam hal ini: penonton memahami sebuah pesan bukan karena pemberitahuan mentah-mentah, melainkan berdasarkan pengalaman yang didapatnya dari sebuah film. Dengan begitu, sebuah film dianggap berhasil berkomunikasi secara baik jika berhasil menyampaikan pesan secara mengesankan. Kemampuan untuk menuntun penonton kepada identifikasi dengan tokoh adalah bagian terbesar dari ketrampilan seorang penulis skenario (Jowett, 1980:92).
Herman (1952:3) menyatakan:
Skenario film adalah komposisi tertulis yang dirancang sebagai semacam diagram kerja bagi sutradara film. Skenario ini yang menjadi dasar pemotretan sekuen-sekuen gambar. Ketika disambung-sambung, sekuen-sekuen ini akan menjadi sebuah film yang selesai, setelah efek suara dan latar musik yang cocok dibubuhkan.
Lebih lanjut Herman mengatakan bahwa tidak seperti naskah drama atau novel, skenario film jarang menjadi karya sastra. Seperti blue print dalam arsitektur, hanya berfungsi sebagai penghubung kemana gambar-hidup itu mesti melewatinya, sebelum tampil dalam struktur sebuah film yang utuh. Skenario lebih ditekankan sebagai suatu fungsi, yakni sebagai rancangan untuk membuat film. Namun demikian, skenario film masih memiliki ruang untuk menjadi karya tekstual. Dengan kata lain, skenario bisa tidak menjadi penghubung, melainkan menjadi karya tekstual yang mandiri. Dalam hal ini, skenario film bukan hanya sebuah fungsi, melainkan juga substansi.
John Gassner (via Winston, 1973:13) mengatakan bahwa skenario film bukan hanya bisa disadari sebagai bentuk sastra yang baru, namun sebagai bentuk sangat penting yang mempunyai otonominya sendiri.

B. Empat Jenis Skenario Film Cerita
Berdasarkan kutub-kutub ekstrim dalam pemilihan model bertutur, skenario film cerita dapat dikategorikan kedalam empat jenis, yakni:
1. Struktur Tiga Babak
2. Mozaik
3. Garis Lurus / Linear
4. Eliptis

Struktur Tiga Babak
Jenis skenario ini berkembang dengan baik di Hollywood. Mementingkan keterikatan penonton pada jalan cerita, tanpa membebaninya. Merupakan cara bertutur yang dianggap klasik, dimana cerita bergerak menuju klimaks lewat struktur tiga babak.
Film yang menggunakan skenario jenis ini—jika diibaratkan—cerita di dalamnya mengalir seperti sungai. Perahu yang dinaiki Sang Protagonis bergerak mengarungi liku-liku sungai menuju ke sebuah air terjun!

Mozaik
Dalam skenario dengan desain mozaik, akan banyak muncul adegan yang tidak secara ketat saling berhubungan. Contoh paling ekstrem adalah tetralogi karya Francois Truffaut :
- The 400 Blows (Les Quatre Cents Coups), 1958
- Love at Twenty (L’Amour a vingt Ans), 1962
- Stolen Kisses (Baisers Voles), 1968
- Bed and Board (Domicile Conjugal), 1970

Truffaut telah menunjukkan, bahwa sebuah film yang tidak disusun dengan jenjang menuju klimaks secara bertahap pun bisa tetap menarik dan romantik. Film-filmnya merupakan mozaik kehidupan sehari-hari, para tokohnya bukan jagoan yang mampu mengatasi segala rintangan, namun justru menarik simpati karena mereka adalah manusia biasa. Penonton mendapat realitas, bukan dongeng.

Garis Lurus / Linear
Contoh terbaik untuk skenario dengan desain linear / garis lurus, adalah film Scenes from a Marriage, karya Ingmar Bergman. Film berdurasi 168 menit ini, sebagian besar isinya adalah percakapan antara sepasang suami-istri, nyaris tanpa adegan yang diusahakan membunuh kebosanan. Penulisan skenarionya tidak diupayakan untuk menggiring reaksi psikologis penonton, seperti adanya suspense, jenjang menuju klimaks, dan penyelesaian yang tuntas.
Bergman seolah menolak sebuah film menjadi manis dan menyenangkan dengan cara apapun. Ia membebaskan penonton untuk membuat tafsiran yang berbeda sama sekali. Ia hanya membeberkannya, tidak lewat pengadeganan yang bisa simbolis, melainkan melulu lewat percakapan. Dalam filmnya tersebut, penonton betul-betul hanya melihat orang bercakap-cakap lama sekali. Alur cerita bergman adalah isi percakapan itu.

Eliptis
Skenario dengan desain eliptis, pertama kali diperkenalkan oleh Akira Kurosawa dalam filmnya yang berjudul Rashomon.
Jika biasanya sebuah cerita mempunyai awal dan akhir, namun dalam Rashomon, awal dan akhir itu hanyalah dalam pengertian fisik, yakni ada halaman terakhir. Secara struktural, cerita dalam film ini tidak maju ke mana-mana. Tepatnya: setiap kali maju ia melingkar -- dan seterusnya.
Film Rashomon ini bercerita tentang penyelidikan terbunuhnya seorang samurai. Tiga orang saksi dihadirkan, namun ketiganya membuat kesaksian yang berbeda. Mereka bisa benar, sekaligus semuanya bisa bohong. Setiap versi yang ditampilkan para saksi bisa dianggap berdiri sendiri-sendiri, yang merupakan pengulangan tanpa kesimpulan siapa yang benar. Dengan begitu cerita Rashomon melingkar ke atas: eliptis.

BIBLIOGRAFI

Field, Syd. 1979. Screenplay: The Foundations of Screenwriting. New York: A Delta Book.
Herman, Lewis. 1952. A Practical Manual of Screen Playwariting for Theater and Television Films. New York: The New American Library.
Jowett, Garth dan James M. Linton. 1980. Movies as Mass Communication. London: Sage Publications.
Monaco, James. 1976. The New Wave: Truffaut, Godard, Chabrol, Rohmer, Rifette. New York: Oxford University Press.
Root, Wells. 1980. Writing the Script. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Stephenson, Ralph dan J.R. Debrix. The Cinema as Art. London: Penguin Books.
Winston, Garrett Winston. 1973. The Screenplay as Literature. London: The Tantivy Press.